Beranda | Artikel
Menyikapi Permusuhan Orang-Orang Kafir Terhadap Minoritas Islam
Rabu, 5 September 2012

SIKAP SEORANG MUSLIM MENGHADAPI KEKERASAN, SIKAP AROGAN DAN PERMUSUHAN ORANG-ORANG KAFIR TERHADAP MINORITAS ISLAM

Pertanyaan
Dengan melihat kondisi sulit dan berat yang kami lalui dan mendapatinya setiap saat sebagai seorang Muslim di Amerika baik itu berupa siksaan, intimidasi – bahkan sampai mengarah kepada pembunuhan dan menghilangkan nyawa. Seperti melemparkan api ke dalam Masjid, mengganggu dan melecehkan para wanita yang berhijab pada saat mereka melintas di jalan-jalan, menampakkan permusuhan terhadap pelajar dan mahasiswa muslim di sekolah-sekolah dan Universitas, menindas dan menyakiti sebagaian pegawai-pegawai Muslim di tempat kerja mereka.
Itu semua merupakan dampak ditetapkannya salah seorang Muslim sebagai tertuduh dan tersangka peledakan bom baik di Ibukota maupun di tempat-tempat yang lain. Atas dasar itu semua kami ingin bertanya; Apakah kami dibolehkan meninggalkan shalat jama’ah dan shalat Jum’at di masjid. Dan bagaimana dengan hijab perempuan muslimah dari kalangan kami apabila mereka melepaskannya. Bagaimana pula hukumnya jika kami menanggalkan pakaian-pakaian Islami?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Sesungguhnya kami telah banyak mendengar apa yang disampaikan oleh saudara-saudara kita sesama muslim di sejumlah negara-negara Kafir, baik di utara maupun selatan, berupa penindasan, penyiksaan dan intimidasi dalam permasalahan yang mereka sama sekali tidak mengerti dan ikut sangkut paut dengan kejadian yang dituduhkan mereka dan mereka juga sama sekali bukan bagian dari kelompok yang membuat onar -hanya karena mereka Minoritas-.

Hal semacam ini tidak asing lagi bagi kaum kafir dalam kedzaliman dan kesewenang-wenangan mereka padahal mereka mengaku sebagai penegak keadilan dan kebebasan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka apa dosa seorang perempuan yang berjalan di jalanan dengan hijabnya? Apa dosa seorang Muslim yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan  Shalat bukan bertujuan membuat kerusakan diatas muka bumi? Apa dosa seorang pegawai Muslim yang ia berangkat ke tempat  kerjanya atau seorang mahasiswa yang berangkat ke tempat kuliahnya atau seorang pelajar Muslimah yang berangkat ke sekolahannya? Bukan untuk melakukan pengeboman dan penghancuran.

Seandainya orang jalanan di Barat bersikap obyektif, paling tidak terhadap dirinya,  dia pasti akan membalas terhadap siapa saja yang merencanakan atau ikut andil dalam menyakitinya atau merugikannya. Akan tetapi segala perbuatan diperkirakan dapat dilakukan oleh siapa saja yang tidak punya rasa takut pada Allah. Minimal kaum Muslimin itu akan mendapatkan caci-maki, cemoohan dan pelecehan sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرًا ۗ وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

Dan sungguh engkau akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab dan dari orang-orang yang menyekutukan Allah  sebelum kalian, gangguan yang banyak dan menyakitkan hati. Dan jika kalian bersabar dan bertakwa maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang harus diutamakan.”[Ali Imran/3:186].

Kedua : Sebuah kewajiban bagi kita semua sebagai kaum Muslimin memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam menjelaskan hukum-hukum Syari’at Islam dihadapan kaum Kafir. Terkait perbuatan yang membahayakan dan menghilangkan nyawa orang lain, maka kita mengatakan kepada mereka dengan lantang; Sesungguhnya Islam mengharamkan melakukan perbuatan yang membahayakan nyawa orang-orang yang tidak berdosa dengan berbagai model dan bentuk penyiksaan, baik itu pada badan, harta dan kehormatan atau harga diri.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ     

Tidak ( dibolehkan ) ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan

Maksud hadits ini adalah kita tidak boleh saling merugikan, dan sesungguhnya tidak boleh membunuh orang kafir yang meminta suaka,  tunduk dan patuh terhadap aturan Islam, bahkan berbuat baik, mengutamakan kepentingan kafir yang punya perjanjian dengan Islam ini sangat dianjurkan dan merupakan ajaran Islam yang utama khususnya yang demikian itu diharapkan menarik simpati dan mendakwahi  mereka untuk masuk Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku Adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena Agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [ Al Mumtahanah/60:8]

Dan juga sesungguhnya tidak diperkenankan bagi seorang Muslim pada saat peperangan melawan orang kafir untuk membunuh anak-anak atau wanita kafir, selama mereka tidak membawa senjata dan menyerang kaum muslimin serta tidak memberikan bantuan untuk memerangi kaum Muslimin sebagaimana riwayat dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sesungguhnya tatkala beliau menyiapkan pemberangkatan tentara muslimin ke sebuah peperangan,  beliau bersabda :

انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلاَ طِفْلاً وَلاَ صَغِيرًا وَلاَ امْرَأَةً …. وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا ‏ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ‏‏

Berangkatlah kalian dengan menyebut  nama Allah dan dengan meminta bantuan kepada Allah, dan ikhlash membela agama Utusan Allah, dan janganlah kalian membunuhi orang tua yang sudah renta, bayi-bayi, anak-anak kecil dan para kaum wanita…, dan berbuat baiklah kalian sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan ”, [Diriwayatkan oleh Abu Daud 2614]

Dalam sanad hadits tersebut terdapat Khalid bin Alfazr. Ibnu Hajar mengatakan tentangnya dalam kitab At Taqriib; bahwa riwayatnya bisa diterima apabila dijadikan sebagai landasan dan dalil)

Dan menguatkan riwayat di atas apa yang disampaikan oleh Abu Bakar As Siddiq dalam wasiatnya kepada panglima tentaranya :

وَإِنِّي مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا صَبِيًّا وَلَا كَبِيرًا هَرِمًا وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا 

Dan sesungguhnya aku berwasiat kepada engkau tentang sepuluh perkara; Jangan engkau sekali-kali membunuh para wanita, anak-anak kecil, para lelaki yang lanjut usia dan jangan sekali-kali menebangi pohon yang sedang berbuah …”. [Al Muwattho’ Malik (982) kitabul Jihad]

Adapun orang-orang kafir yang boleh diperangi kaum Muslimin serta dipersulit dan diserang adalah orang-oarang kafir yang jelas-jelas memerangi dan membunuhi kaum Muslimin, mengusir mereka dari tanah air mereka, membantu dan bersekongkol mengusir kaum muslimin dari tanah air mereka, menyiksa dan mendatangkan bencana kepada mereka, menjegal jalan dakwah yang menyeru kepada Islam, menghalangi jalan Allah dan menghentikan laju penyebaran Islam.

Allah berfirman :

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negri kalian dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang  menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” [Al Mumtahanah/60: 9]

Dari ayat ini bisa dipahami bahwasa kaum Muslimin tidaklah berjihad kecuali apabila situasinya mendorong untuk itu, yaitu ketika kemaslahatan memerangi dan kumandang berjihad menghadapi mereka itu sudah sangat jelas dan nyata. Karena, jika  dimungkinkan mediasi dan mengambil jalan perdamaian maka tidak dibenarkan membiarkan kaum muslimin memilih jalan kekerasan dan kekuatan.

Dan sesungguhnya ketika kaum muslimin menggunakan jalur kekuatan maka itu merupakan upaya terakhir dan keterpaksaan belaka bukan sebuah tujuan, dan bukanlah kaum muslimin yang memulai peperangan akan tetapi ada sebab yang dipicu dan dibuat oleh orang-orang kafir sendiri, seperti mereka membunuh orang-orang Islam atau membantu musuh-musuh Islam dan menghalang-halangi beraktifitas di jalan Allah serta mencegah diberlakukannya syari’at Allah di muka bumi.

Kami juga mengingatkan kepada mereka kaum kafir tentang daerah pembantaian di daerah-daerah yang dihuni oleh kaum Muslimin dan tersebar di penjuru dunia ; seperti di Bosnia, Kosovo, Chechnya, Palestina dan Kashmir yang ikut andil dan membantu dalam pembantaian ini banyak dari kalangan Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Maka apakah darah kaum Muslimin lebih murah dari darah mereka? Dan apakah mayat-mayat orang kafir saja yang meninggalkan kesedihan dan tangisan sedang kaum muslimin yang dibantai tidak menyebabkan dan meninggalkan tangisan serta kesedihan?

Kemudian ketika orang-orang Nashrani Ortodox melakukan pembantaian terhadap kaum Muslimin di Bosnia dan Kososvo yang saat itu dua ratus ribu nyawa melayang selain yang terluka, yang dirampas hak hidup dan tanah mereka dan yang mengalami kerugian ekonomi, apakah pernah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin di negara Arab Islam pada saat mereka membebaskan Romawi dengan menyerang dan membantai orang Romawi Kristen Ortodox yang tinggal di negara mereka? Atau membantai mereka melemparkan api kedalam gereja mereka dengan menakut-nakuti mereka?? Lalu, atas dasar apa mereka melakukan itu semua kepada kaum Muslimin?

Sesungguhnya penjelasan-penjelasan semacam ini dari kaum Muslimin bagi orang-orang non muslim amatlah penting untuk menegakkan hujjah atas orang-orang kafir, dan hal ini yang dikehendaki oleh Allah Azza Wajalla. Ini point penting yang pertama.

Point yang kedua ; Sesungguhnya  di antara orang-orang kafir ada yang pemikir, yang taat beragama dan orang-orang yang mudah menerima hidayah. Nah, semoga saja mereka terkesan dengan penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan.

Point ketiga ; Sesungguhnya tidak layak bagi seorang Muslim membiarkan dirinya dalam persangkaan dan tuduhan  orang lain tanpa menjelaskan hal-hal yang dapat membebaskannya dari tuduhan. Karena apabila seorang muslim membiarkan keburukannya didengar oleh orang lain, maka hal itu akan menghambat orang kafir untuk menerima kebenaran dan menghalanginya mendapatkan kesan positif  pada seorang muslim. Bahkan dia akan beriteraksi dengannya  seakan-akan dia orang yang tidak berharga, sehinggal hal ini akan menimbulkan kedzaliman yang lain terhadap kaum muslimin.

Ketiga : Adapun berkaitan dengan pertanyaan di atas, maka sesungguhnya dibolehkan bagi seorang muslim pada saat terjadi cobaan yang dia tidak kuasa menghindarkannya yaitu apabila tidak merasa aman di jalan atau tidak bisa sampai ke masjid dengan selamat, hendaknya dia melaksanakan Shalat di rumah dan meninggalkan shalat berjamaah. Dia harus meningkatkan kecermatan dan kejelian dalam hal meninggalkan Shalat Jum’at, karena urgensinya yang besar. Maka, tidak diperkenankan meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah karena dugaan yang lemah atau kemungkinan kecil akan terjadinya gangguan yang disebabkan permusuhan. Tapi, jika terdapat kepastian atau dugaan yang mendekati kenyataan bahwa akan mendapatkan gangguan atau intimidasi ketika menuju ke masjid, maka dibolehkan baginya mengurungkan niat untuk berangkat ke masjid.

Dan di antara pendapat para Ulam’ tentang diperkenankannya meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah karena tedapat ‘Udzur yang berupa rasa takut, yaitu apa yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah: “Dan terdapat Udzur dalam meninggalkan keduanya yaitu- shalat Jum’at dan shalat Jama’ah- bagi orang yang sakit dan orang yang takut sebagaimana keumuman pendapat para Ulama.”

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ . قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ . لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاةُ الَّتِي صَلَّى

Barangsiapa yang mendengar Adzan maka tidak ada yang menghalangi untuk menghadirinya melainkan karena Udzur, para sahabat bertanya: dan apa gerangan Udzurnya wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Rasa takut dan sakit, yang tidak akan diterima shalatnya orang yang shalat melainkan karena udzur tersebut.” [Hadits Riwayat abu Daud,  1/ 130].

Dan Syaikh Al-Albani Rahimahullah telah melemahkannya dengan lafadz hadits tersebut, dan menshahihkannya dalam lafadz Ibnu Majah ( 793 ) yang berbunyi :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar Adzan dan dia tidak mendatanginya, maka tidak dianggap shalatnya melainkan apabila dia memiliki Udzur ”. [Al Irwa,  2/ 337]  dan terdapat riwayat :

كَانَ بِلالٌ يُؤَذِّنُ بِالصَّلاةِ ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مَرِيضٌ فَيَقُولُ : مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

Pada suatu hari Bilal mengumandangkan Adzan untuk Shalat lalu datanglah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang pada saat itu beliau sedang sakit, beliau bersabda : kalian perintahkanlah Abu Bakar agar dia Shalat sebagai Imam bagi orang-orang ”. [Hadits Riwayat Bukhari, no.  633 dan Muslim, no. 418].

Rasa takut itu ada tiga macam; Takut atas diri sendiri (jiwa Kita), takut akan harta dan takut akan keluarga.

  1. Takut atas dirinya dari penguasa yang akan membunuhnya, atau musuh, atau pencuri, binatang buas, binatang merayap, banjir dan air bah atau yang sejenisnya yang bisa menyakiti dirinya.
  2. Takut akan harta bendanya; ketika ditinggal keluar rumah sebagaimana kita sebutkan di atas yaitu takut apabila dirampas oleh penguasa atau dicuri oleh maling dan yang sejenisnya, atau takut kalau rumahnya akan dimasuki perampok atau dibakar, atau hal-hal yang semacam itu, ini semua merupakan udzur yang dibolehkan tidak melaksanakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah.
  3. Takut akan gangguan yang terjadi pada anak dan keluarganya, maka ini semua udzur yang diperkenankan untuk meninggalkan Jum’at dan shalat Jama’ah. Ini merupakan Pendapat ‘Atho, Hasan Al bashri, Al Auza’i, As Syafi’i, dan kami tidak melihat adanya perselisihan, diambil dari kitab Al Mughni secara ringkas ( 2/ 376 ).

Dalam fatwa yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah ketika beliau ditanya tentang seseorang yang meninggalkan shalat jama’ah disebabkan karena takut akan gangguan yang akan menimpa istrinya. Beliau pun menjawab : Apabila engkau menghawatirkan akan keselamatan istrimu dan dia dalam bahaya serta tidak aman serta situasi disekelilingnyapun menghawatirkan, maka kamu memiliki Uzur dan dibolehkan shalat jama’ah di rumah, karena engkau takut dan menghawatirkan istrimu … ini penggalan pendapat Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah (Akan tetapi apabila istri tidak aman dan situasi di sekelilingnyapun tidak aman dan bahaya yang dikhawatirkan pun masih ada maka tidak mengapa jika ia shalat di rumah, yang ini adalah merupakan udzur syar’i..”) (Majmu Fatawa As Syaikh bin Baaz rahimahullah, 12/ 42).

Adapun berkaitan dengan perempuan muslimah maka sudah selayaknya dia menetap dan berada di rumah dan tidak beraktifitas keluar rumah. Seharusnya para kerabat dan tetangganya membantunya untuk memperoleh segala kebutuhannya agar dia tidak perlu lagi untuk keluar rumah. Hal ini termasuk dalam kategori mengentaskan dan menghilangkan kepedihan dan kesulitan yang akan mendapatkan pahala yang amat besar.

Adapun permasalahan tentang seseorang yang tidak mengenakan pakaian khusus muslim dan lebih memilih pakaian yang biasa dikenakan oleh kebanyakan masyarakat kafir di mana dia hidup dan tinggal di sana, maka tidak jadi masalah melakukan yang seperti ini khususnya pada situasi intimidasi dan diskriminasi.

lmam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seandainya seorang muslim tinggal di daerah konflik dan situasi perang atau di negara kafir tapi tidak dalam situasi perang; maka tidak ada anjuran baginya untuk tampil berbeda dengan menampakkan performa sebagai seorang muslim, karena yang demikian itu akan mendatangkan keburukan lebih besar, bahkan sangat dianjurkan atau malah menjadi sebuah kewajiban untuk ikut serta dalam kebiasaan mereka apabila dalam hal tersebut terdapat kemaslahatan dari sisi agama; yaitu dengan mendakwahi dan mengajak mereka untuk memahami agama Islam, menelisik seluk-beluk perkara mereka yang bisa menjadi bahan antisipasi bagi kaum muslimin atau bahkan bisa menolak bahaya yang mengarah kepada kaum muslimin dan yang lain sebagainya dari tujuan-tujuan kemaslahatan ” (Iqtidlo’ As Shiroth Al Mustaqim, halaman 176)

Wajib bagi kita semua untuk bisa memahami ucapan Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah dengan pemahaman yang benar ; sesungguhnya beliau mengungkapkan ini semua pada situasi dan kondisi yang khusus atau dalam kondisi diliputi keterpaksaan. Sama sekali tidak ada tujuan untuk menyeru generasi muda Islam untuk larut dengan perilaku dan kebiasaan orang kafir, dengan mempraktekkan kebiasaan buruk mereka seperti minum-minuman keras bersama mereka, mengajak anak-anak muslim ke gereja sehingga menjadi hilang dan lenyap kepribadian Islamnya.

Sesungguhnya maksud dari ungkapan Syaikhul Islam di atas adalah dibolehkannya meninggalkan pakaian yang bisa menjadikan kaum Muslimin berbeda dengan orang-orang kafir – misalnya – dengan mengenakan pakaian dari jenis yang biasa dipakai di negara-negara kafir dan berbicara dengan bahasa kafir dan yang lain sebagainya, untuk menghindarkan kejahatan dan keburukan orang-orang kafir khususnya dalam situasi dan kondisi yang sedang memanas dan bernuansa pertikaian sebagaimana yang tertuang pada soal di atas.

Semoga kejadian ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin yang hidup dan tinggal di negara kafir tanpa kebutuhan untuk mengkaji ulang keberadaan mereka dan menjadikan sebab yang menuntut mereka untuk kembali ke negara mereka yang Islam dan hijrah dari negri kafir karena tuntutan syar’i.

Kita memohon kepada Allah agar senantiasa menjaga kita semua dan segenap saudara-saudara kita sesama Muslim dari segala bentuk keburukan, kejahatan dan kezaliman, dan agar senantiasa memberikan kepada kita petunjuk berupa jalan yang lurus. Dan semoga shalawat dan salam tetap tercurah kehadirat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3352-menyikapi-permusuhan-orang-orang-kafir-terhadap-minoritas-islam.html